Dari Sorotan Menuju KeheninganKumparan | 11 Juni 2025 15:48 WIB
Belajar Bertumbuh dari Fenomena Turun Setelah Naik
Saat Naik Itu Terlihat Gemilang
Ada seseorang yang hobi menulis, dan pernah mengalami puncak sorotan. Tulisan-tulisannya dibaca, dikomentari, dibagikan, bahkan dijadikan rujukan. Ia dianggap penulis yang sedang bersinar. Ia sendiri sempat berpikir, mungkin inilah waktu dimana orang-orang mulai mengenalnya. Tapi tak lama kemudian, semuanya meredup. Tulisannya hanya sedikit yang baca, tidak ada yang komentar, dan orang-orang juga sudah tidak membicarakan lagi tulisannya. Ia seperti kembali ke awal, menjadi sunyi di tengah ramai. Ada rasa kecewa dan sedih yang menemani, tetapi juga bingung atas apa yang terjadi. Muncul pertanyaan, apakah sebaiknya berhenti menghasilkan tulisan atau berlanjut menulisnya?
Apa yang sebenarnya terjadi? Fenomena ini bisa dijelaskan melalui konsep psikologis yang disebut Dunning-Kruger Effect, sebuah teori yang menjelaskan bagaimana orang dengan sedikit pengetahuan sering kali merasa paling tahu. Grafiknya menarik, rasa percaya diri melonjak tajam saat seseorang baru memulai, karena ia belum menyadari betapa luasnya yang belum ia ketahui. Tapi begitu ia belajar lebih dalam, menyelami lapisan-lapisan ilmu, kesadaran akan keterbatasannya membuat rasa percaya dirinya jatuh. Dari titik itulah, seseorang mulai membangun pemahaman dan keahlian sejati, dengan kurva yang naik perlahan tapi lebih stabil.
Efek Dunning-Kruger tidak hanya terjadi dalam proses belajar, tapi juga dalam berbagai aspek kehidupan manusia, termasuk dalam pencapaian sosial dan popularitas. Ketika seseorang mengalami keberhasilan awal, baik sebagai penulis, pembicara, atau tokoh publik seperti selebgram, muncul perasaan bahwa ia telah mencapai puncak. Di titik inilah jebakan ilusi kemahiran mulai terasa. Lingkungan sosial dan validasi eksternal memperkuat keyakinan itu. Namun, ketika gelombang pujian mulai surut, realitas menyeruak menampakkan diri yang sebenarnya. Ketika tidak lagi ada sorak-sorai, seseorang dipaksa untuk menengok ke dalam, apakah ia benar-benar memahami apa yang ia lakukan, atau hanya terbawa arus antusiasme sesaat?
Fenomena yang sama juga terjadi dalam dunia sosial, termasuk dalam dunia menulis. Ketika seseorang menulis sesuatu yang kebetulan selaras dengan keingintahuan masyarakat, atau tren yang sedang viral, respons akan melesat. Ini adalah masa FOMO (fear of missing out) bekerja. Masyarakat berlomba membaca, membagikan, dan membicarakan. Tapi, begitu rasa penasaran itu terpuaskan, pembaca akan kembali ke kebiasaan lamanya, dan sang penulis akan menghadapi keheningan.
Naik cepat sering kali bukan karena kualitas, tapi karena momen. Dan dari sanalah titik balik dimulai. Kenaikan yang terlalu cepat, bila tidak disertai kedalaman refleksi dan pemahaman, akan mudah diikuti oleh penurunan yang tajam. Inilah yang menjadikan fase "sunyi setelah ramai" sebagai laboratorium mental untuk belajar kejujuran terhadap diri sendiri.
Ketika Keheningan Menggugat Diri
Saat fenomena itu terjadi, pertanyaan penting pun muncul, apakah seseorang tersebut tetap akan menulis ketika tidak ada yang membaca? Ketika sorotan padam, dan satu-satunya cahaya yang tersisa adalah niat tulus dalam hati, apakah yang akan dilakukannya?
Masa ini bisa menjadi masa kritis dalam perjalanan individuasi, sebuah konsep penting dalam psikologi analitik Carl Gustav Jung. Individuasi adalah proses psikologis di mana seseorang mencari dan menemukan diri (self) untuk menjadi dirinya yang sejati. Bukan sekadar topeng sosial (persona) atau identitas yang dibentuk oleh norma luar, tetapi jati diri yang muncul dari integrasi antara kesadaran dan ketidaksadaran. Individuasi mengharuskan seseorang menghadapi bayang-bayang (shadow) gelapnya yang mungkin selama ini dipendam rapat-rapat, menerima kompleksitas dirinya, dan menyatukan berbagai aspek kepribadian yang selama ini terpecah.
Dalam konteks ini, keheningan setelah sorotan justru menjadi medan latihan untuk bertumbuh dan melakukan individuasi. Di saat tidak ada lagi pujian eksternal yang memvalidasi, seseorang dipaksa menengok ke dalam, siapa aku tanpa semua itu? Apakah aku menulis karena ingin dipuji, atau karena memang panggilan jiwaku adalah menulis? Apakah aku berbicara karena ingin didengar, atau karena memang ada kebenaran yang ingin kusuarakan?
Sementara itu, dalam kerangka psikologi humanistik Abraham Maslow, ini adalah bagian dari proses menuju aktualisasi diri. Maslow menggambarkan aktualisasi diri sebagai kebutuhan tertinggi manusia untuk menjadi versi terbaik dari dirinya. Ini adalah tahap di mana seseorang tak lagi terobsesi pada pengakuan eksternal, tetapi terdorong untuk merealisasikan potensi unik yang ia miliki, demi makna yang lebih besar.
Namun, seperti yang juga disinggung Freud, keikhlasan yang dipaksakan bisa berubah menjadi represi emosional. Seseorang bisa tampak "sudah ikhlas", padahal sesungguhnya ia sedang memendam luka atau kegagalan yang belum tuntas diolah. Di sinilah pentingnya kesadaran penuh, agar proses menuju aktualisasi atau individuasi tidak menjadi ilusi baru.
Dalam kesepian itu, seseorang belajar untuk tidak lagi menulis demi pujian, tapi karena panggilan jiwa. Bukan lagi demi validasi, tapi karena keyakinan bahwa ide dan kebenaran tetap harus dituliskan. Dari titik inilah kualitas sejati akan muncul, bukan karena keramaian, tetapi karena kedalaman.
Menemukan Jalan Baru
Fenomena naik-turun ini bukan tanda kegagalan. Ini adalah sebuh proses, dan dalam proses itulah seseorang belajar, bahwa jalan menuju puncak sejati sering kali dimulai dari lembah sunyi, dinaiki dalam jalur-jaluh keheningan. Kurva ini adalah simbol dari ketekunan dan kedewasaan.
Namun di balik kesunyian itu, bisa tumbuh satu kekuatan baru, sebuah jalan alternatif menuju makna dan pencapaian. Bagi sebagian orang, jalan ini tidak lagi melalui popularitas atau sorotan. Mereka mulai menemukan kebahagiaan dan kesuksesan dalam diam. Mereka yang memilih jalur keheningan tidak sedang menyerah, tapi sedang memilih bentuk kemenangan yang lebih dalam, kemenangan atas ego dorong untuk dikagumi dan divalidasi lingkungan sosial, serta kemenangan atas hasrat menjadi pusat perhatian.
Mereka mungkin tidak ramai di media sosial, tidak viral di platform digital, tapi mereka hadir kuat di kehidupan nyata. Mereka membangun karya, memahat makna dalam keseharian, dan berbagi hanya pada waktu yang tepat. Kesuksesan bagi mereka tidak lagi diukur dari angka pengikut, tepuk tangan publik, atau gelar yang disematkan orang lain. Kesuksesan adalah ketika mereka bisa hidup selaras dengan nilai-nilai yang mereka yakini, ketika batin mereka damai, dan karya mereka tetap mengalir tanpa dipaksa.
Ini adalah jalan sunyi yang tidak mudah, dan tidak semua orang menyukai karena karena tidak ada validasi instan. Tapi justru di sanalah keteguhan dan ketulusan diuji. Seperti benih yang tumbuh dalam tanah gelap sebelum menembus cahaya, orang-orang yang berjalan di jalur ini sedang mempersiapkan akar yang kuat.
Bagi siapa pun yang sedang merasa "turun" setelah merasa pernah "naik", barangkali ini bukan akhir. Ini hanya fase baru, di mana kesadaran dan makna sedang dibentuk. Dan mungkin, itulah permulaan dari sesuatu yang lebih abadi.