TRIBUNJATENG.COM - Publik masih menyoroti kabar pailitnya raja tekstil Asia Tenggara PT Sri Rejeki Isman Tbk (SRIL) atau Sritex.
Pabrik yang bermarkas di Sukoharjo ini resmi dinyatakan pailit oleh Pengadilan Negeri (PN) Niaga Semarang.
Hingga sebanyak 11.000 karyawan terancam PHK.
Perusahaan ini tengah dilanda masalah keuangan yang sangat pelik. Laporan keuangannya pun berdarah-darah.
Perusahaan harus menanggung utang sebesar 1,597 miliar dollar AS atau jika dirupiahkan setara dengan Rp 25 triliun (kurs saat ini Rp 15.600).
Perusahaan masih bisa selamat dari pailit melalui upaya kasasi atas putusan di Pengadilan Niaga Semarang.
Manajemen menyatakan operasional perusahaan masih berjalan normal dan belum ada rencana melakukan PHK karyawan.
Jika dinyatakan pailit, maka aset perusahaan akan dijual untuk membayar kewajiban.
Sebelumnya, perusahaan yang berbasis di Kabupaten Sukoharjo ini digugat pailit oleh vendornya PT Indo Bharta Rayon karena polemik utang yang belum terbayarkan.
Sritex bersama dengan perusahaan afiliasinya, PT Sinar Pantja Djaja, PT Bitratex Industries, dan PT Primayudha Mandirijaya dianggap telah lalai dalam memenuhi kewajiban pembayaran kewajiban kepada PT Indo Bharat Rayon, selaku pemohon.
Aset merosot dan rugi beruntun
Sritex tercatat mengalami kerugian besar berturut-turut selama kurun waktu empat tahun terakhir.
Sepanjang paruh pertama 2024 saja, Sritex sudah mencatat rugi sebesar 25,73 juta dollar AS atau setara dengan Rp 402,66 miliar.
Kerugian ini bisa dilihat pada Laporan Keuangan Konsolidasi Interim 30 Juni 2024 yang dirilis perseroan di situs resminya.
Sementara apabila merujuk pada Laporan Tahunan (Annual Report) Sritex 2023-2022, Sritex sudah menderita kerugian sejak 2021 atau saat masa puncak pandemi Covid-19.
Kerugian yang diderita Sritex pada 2023 sebesar 173,8 juta dollar AS, pada 2022 kembali merugi sebesar 391,56 juta dollar AS, bahkan pada 2021 kerugiannya bengkak sampai 1,06 miliar dollar AS.
Pada tahun 2020, Sritex sempat mencatatkan kinerja positif dengan laba sebesar 82,98 juta dollar AS.
Kerugian yang dialami perusahaan sepanjang empat tahun berturut-turut sejak 2021 sampai 2024 tentu berimbas pada aset perusahaan.
Masih mengutip laporan tahunan Sritex, aset perusahaan per Juni 2024 tercatat 617 juta dollar AS.
Nilai aset Sritex ini mengalami penurunan dibanding pada 2023 yakni 648 juta dollar AS. Lalu pada 2022, aset Sritex tercatat lebih besar yakni 764,55 juta dollar AS.
Sementara pada 2021, aset Sritex masih berada di atas 1 miliar dollar AS, tepatnya 1,23 miliar dollar AS.
Artinya, aset perusahaan yang didirikan Haji Lukminto ini sudah ambles separuhnya dalam kurun waktu hanya dua tahun.
Penurunan aset sangat drastis ini juga terjadi pada setahun sebelumnya.
Pada 2020, aset Sritex masih sebesar 1,85 miliar dollar AS.
Dengan demikian, dalam setahun dari 2020 hingga 2021, aset perusahaan menurun 618 juta dollar AS atau sekitar Rp 9,67 triliun.
Utang jumbo
Sebagai gambaran betapa besarnya utang yang ditanggung Sritex, yakni perbandingan jumlah utang dan asetnya.
Perusahaan harus menanggung utang sebesar 1,597 miliar dollar AS atau jika dirupiahkan setara dengan Rp 25 triliun Jumlah aset yang dimiliki Sritex tentu saja jauh lebih kecil dibanding kewajiban utangnya, yakni hanya 617,33 juta dollar AS atau sekitar Rp 9,65 triliun.
Dengan demikian, walaupun seluruh aset Sritex dijual, hasilnya masih belum bisa menutupi utang perusahaan.
Jika dirinci, utang yang ditanggung Sritex ini meliputi utang jangka pendek sebesar 131,41 juta dollar AS, dan utang jangka panjang 1,46 miliar dollar AS.
Untuk utang jangka panjang, porsi terbesar adalah utang bank yang mencapai 809,99 juta dollar AS, lalu disusul utang obligasi sebesar 375 juta dollar AS.